Istilah "Generasi Strawberry" belakangan ini semakin banyak diperbincangkan. Generasi Strawberry pada umumnya merujuk pada generasi muda yang lahir setelah tahun 1990-an.
Generasi Strawberry dianggap memiliki karakteristik yang mudah terpengaruh, sensitif, serta kurang tangguh dalam menghadapi tekanan dan tantangan.
Dibesarkan dalam era digital dengan akses informasi yang luas dan mudah, membuat anak-anak Generasi Strawberry mudah terpengaruh lantaran terpapar dengan berbagai budaya dan pemikiran, sehingga rentan terpengaruh oleh tren dan ide yang belum tentu positif.
BACA JUGA: Muncul Istilah Generasi Geprek dan Generasi Strawberry, Apa Itu?
Dibesarkan dalam lingkungan yang penuh dengan pujian dan penghargaan, sehingga kurang terbiasa dengan situasi yang tidak menyenangkan juga menjadi salah satu faktor terciptanya Generasi Strawberry yang cenderung sensitif terhadap kritik dan kegagalan.
Generasi Strawberry juga dirasa kurang memiliki mental yang kuat untuk menghadapi rintangan dan kesulitan. Hal ini bisa disebabkan oleh pola asuh yang terlalu protektif dan minimnya pengalaman dalam menghadapi situasi yang menantang.
Kendati demikian, tidak semua orang yang lahir pada tahun 1990-an tumbuh menjadi Generasi Strawberry. Mari lebih mengenal Generasi Strawberry, apa yang mereka hadapi dan bagaimana kita sebagai orang tua menolong mereka.
Tekanan mental
Kemudahan akses informasi dan media sosial dapat memicu kecemasan dan depresi pada generasi ini. Mereka kerap membandingkan diri dengan orang lain dan merasa tidak cukup baik.
Krisis identitas
Generasi Strawberry dihadapkan dengan berbagai pilihan dan kemungkinan dalam hidup. Hal ini dapat membuat mereka merasa bingung dan kesulitan untuk menentukan jati diri.
Kesulitan dalam bersosialisasi
Generasi ini terbiasa berkomunikasi secara virtual, sehingga kurang memiliki kemampuan untuk bersosialisasi secara langsung. Hal ini dapat menghambat mereka dalam membangun hubungan dengan orang lain.
Jussac Kantjana, seorang pakar parenting dan motivator, memberikan beberapa saran yang tentunya sejalan dengan Firman Tuhan untuk membantu Generasi Strawberry dalam menghadapi tantangan dalam kehidupan.
“Sebagai orang tua, untuk menjaga anak-anak generasi strawberry, kita bertugas untuk menabur dengan mengasihi, merangkul, mengekspresikan karakter Kristus kepada anak-anak. Kemudian juga mengandalkan Roh Kudus untuk menjamah hidup mereka,” pungkasnya dalam wawancara yang dilakukan dengan Jawaban.com.
BACA JUGA: Biar Anak Tak Jadi Generasi Strawberry, Yuk Lakukan 6 Langkah Pengasuhan Ini...
Di sisi lain, orang tua sebaiknya tidak membuat banyak aturan yang nantinya justru menuntut anak-anak sehingga membuat mereka menjadi skeptis kepada orang tua.
Alih-alih menciptakan kenyamanan dan keamanan dalam hubungan, hal ini justru menciptakan jarak dan ketidaknyamanan sehingga menurunkan kepercayaan anak terhadap orang tua.
Jussac menambahkan, alih-alih membuat aturan yang berujung membuat anak jadi semakin skeptis terhadap orang tua, sebaiknya orang tua mengincar hati anak dengan membangun hubungan yang baik.
Dengan demikian, anak-anak akan merasa bahwa orang tua adalah tempat yang tepat sehingga mereka merasa nyaman dan aman dalam membagikan apa yang sedang mereka alami sehingga kita bisa menolong mereka.
Tentunya, tetaplah berdoa dan memohon bimbingan Tuhan untuk membantu anak-anak kita. Pada saatnya nanti, Roh Kudus akan menjamah dan mengubahkan setiap pribadi secara drastis yang tidak bisa dilakukan oleh manusia.
Untuk menciptakan generasi yang tangguh, orang tua harus terlibat di dalamnya.
Oleh karena itu, orang tua harus sepenuhnya mengajarkan nilai-nilai karakter Kristus kepada anak-anak, sehingga ketika mereka dewasa, mereka siap menghadapi segala tantangan hidup dengan iman yang kuat.
Sumber : Jussac Kantjana